Tangse, Awal dari Kesangsian



Selama ini aku selalu penasaran dengan asal-usul tanah kelahiranku, Tangse. Mengetahui  sejarah berdirinya suatu tempat membuatku semakin mengenal daerah tersebut. Namun, sampai umurku hampir menginjak 22 tahun, aku tidak tahu sejarah tempatku menghabiskan masa-masa kecilku. Mungkin kalau ditanya tentang sejarah lahirnya Kabupaten Pidie, Aceh, bahkan Indonesia dengan mudah aku bisa menjawabnya. Karena semuanya itu telah terangkum dalam berbagai buku dan banyak narasumber yang dapat dijadikan tempat bertanya. Sedangkan Tangse?

“Orang-orang yang tahu sejarah berdirinya Tangse kebanyakan sudah meninggal,” jelas mamaku, “Dulu kakekmu, Teuku Kali Mansur, termasuk orang yang sangat mahir dalam hal ini. Namun ketika beliau masih hidup, mama tidak pernah menanyakan tentang ini kepadanya.  Jadi, mama tidak tahu banyak,” tambahnya.

Lalu pada suatu sore, mamaku menyuruhku untuk segera berkemas, “Kita akan ke rumah Abuwa (paman) Min. Dia tahu banyak tentang sejarah. Dulu kakekmu sering bercerita padanya.”

Maka langsung saja kuturuti perintah mama. Aku benar-benar tidak menyangka ternyata mama begitu peduli tentang keingintahuanku. Padahal, aku tidak memintanya untuk mencari orang yang bisa menjawab pertanyaan ini. Tapi mama, wanita kebanggaanku itu tidak ingin keingintahuanku luruh karena ketidaktahuannya.

Lalu pergilah kami ke rumah Abuwa Min yang terletak sekitar dua ratus meter dari rumah. Lelaki paro baya itu sedang bersila di atas lantai yang beralaskan tikar sambil menyeruput sebatang rokok. Keluargaku lumayan dekat dengannya. Namun ketika papa meninggal,   aku dan adik sudah kuliah di Banda Aceh, dan  mama yang juga sering di rumah kakaknya, Nyakwa (Bibi) Meulu  membuat kami jarang bersilaturrahmi ke rumahnya.
“Ayo masuk-masuk,” ucapnya dalam Bahasa Aceh dengan wajah begitu sumringah.
Lalu mama pun menyampaikan tentang keingintahuanku.
“Untuk apa? Wah, Abuwa sudah lama tidak bercerita tentang Tangse, Nak. Tak ada yang tanya,” papar lelaki itu sambil terkekeh-kekeh.
“Ya pingin tau aja, Abuwa. Masa orang Tangse ngga tau tentang Tangse. Malu-maluin lah, Abuwa,” balasku dan diiringi derai tawa mama dan abuwa.
“Baiklah, Abuwa akan menceritakan sebatas ingatan Abuwa, ya. Soalnya ini sudah lama sekali diceritakan kakekmu.”
Aku mengangguk. Bagiku lebih baik tahu sedikit dari pada tidak sama sekali.
Mulailah laki-laki yang bernama lengkap Teuku Abdul Amin itu menceritakan tentang Tangse.
Abdul Taher atau yang lebih dikenal dengan Keumala Tahe adalah orang yang pertama menginjakkan kaki ke Tangse. Ia berasal dari Keumala, yang kini merupakan kecamatan  setelah Tangse.
“Waktu itu kalau tidak salah Sultan Iskandar Muda yang memerintah,” jelasnya.
Pada masa itu, masyarakat Keumala sedang dilanda kelaparan. Kemarau panjang dan hama tikus membuat hasil panen mereka tak bisa digunakan. Maka larilah Keumala Tahe ke pegunungan  yang terletak setelah Keumala.
“Saat melihat pegunungan yang begitu rimbun, ia merasa sangse, ragu atau pusing. Dia berpikir apakah di rimba ini bisa ditanam padi?”
Ka sangseng. Ka susah. Tidak tau mau berbuat apa.” (Sudah sangsi. Sudah susah. Tidak tahu mau berbuat apa. Sangsi)
Hingga terpikirlah oleh Keumala Tahe untuk membuka areal persawahan di rimba ini. Lalu kembalilah lelaki  itu ke Keumala untuk  mengajak penduduk daerah tersebut ke rimba yang ditemuinya itu untuk membuka areal persawahan.
“Lalu mulailah mereka menanam padi. Ketika padi mulai berbuah, maka datanglah hama tikus yang melahap habis padi tersebut,” ungkap Abuwa Min dengan sambil menghisap rokoknya.
Kemudian Keumala Tahe berlari. “Ada yang mengatakan larinya sangat kencang seolah-olah terbang ke Beupo, pegunungan yang letaknya antara Geumpang dan Meulaboh. Lalu di sana ia bermimpi. Seorang wali Allah datang padanya lalu berkata : Hai Keumala Tahe, bangun! Kembalilah ke Tangse dan potong lembu hitam di ulee gle (kepala gunung) dan tanam padi kembali.”
“Lalu setelah padi ditanam dan berbuah serta di panen, potonglah kerbau jagad (albino) dan ayam berwarna putih. Masyarakat menyebutnya istilah top blang.”
Dan asal-usul lahirnya sebuah dusun yang bernama Ulee Glee adalah buah mimpinya Keumala Tahe.
Setelah mimpi itu, Keumala Tahe kembali ke keumala untuk mencari lembu hitam lalu melaksanakan kenduri seperti mimpinya. Ia membawa  penduduk Keumala untuk  menanam kembali padi di rimba itu.
“Keumala Tahe itu orang yang cerdas,” kata Abuwa Min, “ Ia membawa orang-orang yang menghisap candu untuk membuka sawah. Setelah sawah selesai digarap, mereka diberikan candu agar kembali semangat berkerja. Lalu, setelah semuanya selesai Keumala Tahe membuat perhitungan dengan merincikan biaya pembelian candu dan upah pekerja. Ternyata harga candu lebih mahal dari upah kerja mereka, sehingga para orang-orang tersebut harus pulang dengan tangan kosong karena upah mereka harus digunakan untuk membayar candu.”
Setelah itu banyak orang dari berbagai daerah seperti Beureunuen dan Kembang Tanjong yang berdatangan. Lalu mereka pun membangun pemukiman yang kini terkenal dengan beras dan duriannya yang lezat.
“Jadi kata Tangse itu asalnya dari sangse, sebuah kesangsian,” simpul Abuwa Min menutup ceritanya.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment